Buya AR Sutan Mansur menjadi Ketua PP Muhammadiyah selama dua periode. Setelah memimpin Muhammadiyah pada periode 1953-1956, pada kongres berikutnya yaitu Kongres Muhammadiyah ke-33 tahun 1956 di Palembang ia terpilih lagi menjadi Ketua PB Muhammadiyah periode 1956-1959. Ini menjadikannya untuk bertekad bulat dalam pemulihan ruh Muhammadiyah yang memang hampir menipis.
Karenanya, dalam masa kepemimpinannya, upaya pemulihan roh Muhammadiyah di kalangan warga dan pimpinan Muhammadiyah digiatkan. Untuk itu, ia memasyarakatkan dua hal, pertama, merebut khasyyah (takut pada kemurkaan Allah), merebut waktu, memenuhi janji, menanam roh tauhid dan mewujudkan akhlak tauhid; kedua, mengusahakan buq’ah mubarokah (tempat yang diberkati) di tempat masing-masing, mengupayakan shalat jamaah pada awal setiap waktu, mendidik anak-anak beribadah dan mengaji al-Qur’an, mengaji al-Qur’an untuk mengharap rahmat, melatih puasa sunat Senin dan Kamis juga pada tanggal 13, 14 dan 15 setiap bulan Islam sebagaimana yang dipesankan oleh Nabi Muhammad, dan tetap menghidupkan taqwa. Di samping itu ia juga mengupayakan kontak-kontak yang lebih luas antar pemimpin dan anggota di semua tingkatan dan konferensi kerja diantara majelis dengan cabang atau ranting banyak diselenggarakan.
Buya AR Sutan Mansur sebagai seorang yang telah kenyang asam-garam dalam melaksanakan gerakan Muhammadiyah amat sangat mengerti ruh Muhammadiyah yang didirikan oleh KHA Dahlan. KHA Dahlan sendiri yang mengenalkan gerakan Muhammadiyah kepada Buya AR Sutan Mansur. Karenanya, dalam setiap kesempatan meski ia tak memegang lagi pimpinan Muhammadiyah, ia selalu menekankan anggota Muhammadiyah untuk memiliki ruh Muhammadiyah. Karena kesungguhannya dalam memegang ruh Muhammadiyah ini, Buya HAMKA yang juga adik iparnya, menyebut Buya AR Sutan Mansur sebagai seorang ideolog Muhammadiyah.
Komentar
Posting Komentar